Thursday 14 November 2013

Uang Hambalang Disebut Mengalir Ke KPK

JAKARTA--Penggeledahan di rumah Anas Urbaningrum telah diselesaikan penyidik KPK pada Selasa kemarin. Setelah ini, lembaga antirasuah itu akan memanggil Athiyah Laila untuk dimintai klarifikasi terkait beberapa barang yang diamankan saat penggeledahan. Rencananya, istri Anas tersebut akan dipanggil pada Senin (18/11) depan.

Rencana itu disampaikan oleh Jubir KPK Johan Budi S.P kemarin sore. Dia mengatakan kalau pemanggilan Athiyah nantinya masih sebatas saksi. Pihaknya hingga kini belum memiliki kesimpulan apapun terkait peran Athiyah di kasus Hambalang. "Pekan depan diperiksa. Untuk klarifikasi," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, penetapan Dirut PT Dutasari Citralaras Machfud Suroso sebagai tersangka kasus Hambalang diikuti dengan penggeledahan di rumah Anas. Penggeledahan itu dilakukan karena istrinya merupakan komisaris PT Dutasari. Perusahaan yang menjadi subkontraktor PT Adhi Karya yang memenangkan proyek Hambalang.
Menurut Johan, ada empat rumah Anas di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur yang digeledah KPK. Empat rumah itu berada di Jalan Teluk Semangka C9 Vav 1 SHM 4747, Jalan Selat Makassar Perkav AL Blok C9 no 22 SHM 4914, Jalan Selat Makasar Blok C SHM 6251, dan Jalan Teluk Langsa Raya C4 no 7 SHM 6240.
Johan menguraikan beberapa barang yang disita oleh penyidik KPK pada hari itu. Seperti buku tahlil bergambar Anas Urbaningrum, kartu nama Wasit Suadi dari PT AA Pialang Asuransi. Lantas, kartu nama Bambang Tri Direktur Adhi Karya, dam kartu nama Ketut Darmawan dari PT Pembangunan Perumanan.
"Untuk buku tahlil kenapa disita, penyidik pasti punya maksud tersendiri," tuturnya. Dari empat rumah itu juga diamankan berbagai dokumen yang diduga terkait pembangan Hambalang. Dari dokumen itu juga diduga masih ada jejak-jejak para tersangka. Untuk dokumen pribadi, Johan menyebut ada paspor atas nama Athiya Laila yang diamankan. Dia mengatakan penyitaan paspor tidak perlu dibesar-besarkan karena itu termasuk barang yang bisa disita. Johan juga mengatakan penyitaan paspor bukan kali pertama dilakukan KPK.
"Pasapor Athiya disita karena yang bersangkutan pernah bepergian ke luar negeri bersama keluarga tersangka atau tersangka," jelasnya. Sedangkan untuk penyitaan uang Rp 1 miliar, Johan mengatakan pihaknya memiliki keyakinan kuat itu uang pribadi. Bukan milik organisasi Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).
Lebih lanjut dia menjelaskan, uang tersebut ditemukan penyidik di dalam tas yang berada di lemari. Letaknya, ada di lantai dua rumah dan ruang pribadi. Kalau benar uang tersebut milik PPI, tidak seharusnya berada di ruang itu. Dia yakin penyidik sudah hati-hati dan cermat saat menyita.
"Saat itu, penyidik juga menemukan uang lain. Tetapi tidak ikut disita karena dianggap tidak memiliki keterkaitan dengan kasus," tuturnya. Jawaban itu juga berlaku untuk pertanyaan PPI yang menanyakan kenapa buku tahlil bergambar Ibas tidak ikut disita.
Kuasa hukum Anas, Firman Wijaya saat ditemui di gedung KPK tetap tidak terima dengan penggeledahan yang dilakukan penyidik. Meski dia mengakui rumah yang dijadikan markas PPI milik Anas, tetapi pengelolaan sudah diberikan pada organisasi. Dia menuding penyidik masuk kantor orang tanpa izin.
"Saat tanya penyidik, hanya dijawab kami menjalankan tugas. Jawaban apa itu. Jawaban tidak mendidik," tegasnya. Apalagi, setelah diketahui kalau penggeledahan itu ikut menyita beberapa properti milik Anas. Seperti kartu anggota DPR, penghargaan dari KPU, hingga piagam posisinya di KPU.
Dia mempertanyakan, kalau memang terkait dengan Machfud Suroso apa kaitannya dengan kartu Garuda (anggota DPR, red). Disamping itu, Anas mengeluh cara penggeledahan terlalu ekstrim. Dia merasa sikap koperatifnya selama ini tidak dibalas dengan baik oleh KPK.
Menurutnya, sebagai lembaga negara KPK bisa langsung mengetahui benar tidaknya Athiyah Laila terlibat. Untuk proyek sebesar itu selalu ada kontrol. Apalagi, kalau benar pernah ikut rapat, pasti ada jejaknya.
Untuk uang PPI, Firman memastikan itu benar milik organisasi baru besutan Anas. Dia menyebut uang sebanyak itu sebagai modal untuk membuat berbagai kegiatan. Saat disinggung darimana uang berasal, dia menyebut sumbangan. "Semacam brotherhood. Secara politis, ini untuk membungkam PPI juga," katanya.
Terpisah, uang Proyek Hambalang ternyata tidak hanya mengalir ke lingkungan Kementerian dan DPR. Fulus dari PT Adhi Karya selaku pemenang proyek ternyata juga disebut sempat dialokasikan ke pejabat KPK saat kasus ini mulai diselidiki. Pejabat yang disebut itu ialah mantan Deputi Penindakan Ade Raharja.
Informasi yang dihimpun koran ini menyebutkan nama Ade dicatut oleh Arief Taufiqurrahman, staf marketing PT Adhi Karya. Dalam pemeriksaan di KPK pada 6 Mei 2013 lalu, Arief menyebutkan dia pernah mendengar Direktur Operasional Adhi Karya, Teuku Bagus Mokhamad Noor meminta bagian keuangan mengeluarkan uang Rp 3 Miliar untuk si rambut putih. Si rambut putih itu ternyata kode yang merujuk pada Ade Raharja.
Uang Rp 3 miliar itu disebutkan diserahkan dua tahap, yakni Rp 1 miliar di awal dan selanjutnya ditambahkan Rp 2 miliar. Pemberian uang itu dimaksudkan agar Ade membantu perkara Hambalang tidak ditingkatkan statusnya.
Dalam keterangannya di penyidik KPK, Arief mengatakan uang itu diserahkan Adhi Karya lewat Mahfud Suroso. Pria ini merupakan tersangka baru Hambalang yang kedudukannya sebagai Direktur Utama PT Dutasari Citralaras. Terkait pernyataan Arief tersebut, Ade Raharja tidak menampik. Mantan Kapolwiltabes Surabaya itu mengaku pada September kemarin sempat dimintai keterangan penyidik KPK terkait pernyataan Arief. "Iya memang ada keterangan seperti itu dan saya sudah memberikan keteranagn pada penyidik," papar Ade saat dihubungi via telepon.
Ade mengatakan saat kasus Hambalang masuk tahap penyelidikan dia sudah pensiun. Jadi menurutnya sangat tidak mungkin seseorang yang berperkara memberikan uang pada orang yang sudah tidak ada kaitannya. "Itu yang pertama. Yang kedua, saya tidak kenal siapa itu Taufiq, Bagus, maupun Mahfud. Pernah ketemu saja tidak," ujar pria yang pernah maju dalam bursa calon pimpinan KPK tersebut.
Ade juga telah menanyakan ke penyidik yang memeriksanya apakah ada ada bukti uang itu sampai pada dirinya atau tidak. "Penyidik bilang keterangan saksi menyebutkan ada dana yang dialokasikan untuk saya," ungkap pria lulusan Akpol 1975 itu. 
Polisi dengan pangkat terakhir Irjen itu yakin namanya hanya dicatut seperti sejumlah kasus yang pernah terjadi, salah satunya perkara Anggodo. "Sering sekali kan ada yang membawa-bawa nama saya. Kalau seperti ini saya ya tidak tahu lagi," terang pria yang masuk KPK sejak 2005 itu.
Sementara itu, adik tersangka Andi Alfian Mallarangeng, Rizal Mallarangeng meminta KPK terbuka dan mendalami keterangan Arif tersebut. Menurut dia pihak-pihak seperti Teuku Bagus dan Mahfud Suroso juga harus ditanyai hal yang sama terkait dugaan adanya uang yang mengalir ke Ade Raharja.
Dalam sepengetahuan Rizal, Teuku Bagus dan Mahfud Suroso tidak pernah ditanya terkait adanya uang untuk Ade Raharja. "KPK harus menerapkan azas keadilan," ungkapnya. Dia mengatakan adanya dugaan uang ke Ade itu juga tak terungkap dalam dakwaan Mantan Kabiro Perencanaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Dedy Kusdinar.
Padahal sejumlah orang yang disebut menerima uang dipaparkan dalam dakwaan Dedy. "Kakak saya disebut menerima uang dan tidak ada bukti, hanya berdasarkan pengakuan saksi saja. Berarti kan sama seperti yang dialami Pak Ade," ungkapnya. Johan Budi membenarkan kalau pihaknya pernah meminta keterangan Ade Raharja terkait kasus Hambalang. Namun, dia mengaku tidak tahu materi yang ditanyakan penyidik kepada mantan pegawai KPK itu. "Dia diperiksa sebagai saksi. Baru-baru saja diperiksanya, pada September lalu," katanya.


JAKARTA, BIJAK – Uang proyek Hambalang ternyata tidak hanya mengalir ke DPR dan lingkungan Kementerian. Fulus dari PT Adhi Karya selaku pemenang proyek ternyata juga disebut sempat dialokasikan ke pejabat KPK.

Pejabat yang disebut itu adalah mantan Deputi Penindakan Ade Raharja. Seperti dikutip Koran Indopos, nama Ade dicatut oleh Arief Taufiqurrahman, staf marketing PT Adhi Karya. Dalam pemeriksaan di KPK pada 6 Mei 2013.

Arief menyebutkan, pernah mendengar Direktur Operasional Adhi Karya, Teuku Bagus Mohammad Noor meminta bagian keuangan mengeluarkan uang Rp 3 miliar untuk si rambut putih. Si rambut putih itu ternyata kode yang merujuk pada Ade Raharja. Pemberian uang itu dimaksudkan agar Ade membantu perkara Hambalang tidak ditingkatkan statusnya.

Dalam keterangannya di penyidik KPK, Arief mengatakan uang itu diserahkan Adhi Karya lewat Mahfud Suroso. Arief merupakan tersangka baru Hambalang yang kedudukannya sebagai Direktur Utama PT Dutasari Citralaras.

Terkait pernyataanya tersebut, Ade Raharja tidak menampik. Dia mengaku pada September lalu sempat dimintai keterangan penyidik KPK terkait pernyataan Arief. “Iya memang ada keterangan seperti itu dan saya sudah memberikan keterangan pada penyidik,” kata Ade.

Dia mengatakan, saat kasus Hambalang masuk tahap penyelidikan dia sudah pensiun. Jadi menurutnya sangat tidak mungkin seorang yang berperkara memberikan uang pada orang yang sudah tidak ada kaitannya. Ade juga telah menanyakan ke penyidik yang memeriksa apakah ada bukti uang itu sampai pada dirinya atau tidak. 

No comments:

Post a Comment